Desainer grafis saat ini tidak dapat menghindar dari keharusan mengikuti perkembangan teknologi. Pada era 80-an dan sebelumnya, desainer grafis nyaris tidak ada kewajiban mengikuti perkembangan teknologi. Ia bekerja secara manual menggunakan penggaris, jangka, pensil, rapido, spidol, kuas, cutter, gunting, lem, dan peralatan manual lainnya. Desainer grafis di era 80-an tidak dapat lepas dari tas kecil berisi peralatan tadi. Di ruang kerjanya terdapat light-box, mesin gambar, dan lemari tempat menyimpan foto, gambar, cat air, kuas, air brush, serta dokumen lainnya. Kebutuhan susun huruf (teks) umumnya dilakukan oleh seorang type-setter menggunakan Compugraphic atau mesin tik elektrik dengan bola hurufnya yang sangat terbatas, ditambah dengan huruf gosok (letra set). Peralatan manual andalan desainer sebelum digantikan komputer dan kamera digital. Setelah teknologi komputer bergulir dan menjadi alat bantu utama untuk mewujudkan ide-ide desain, sejak itu pula desainer tidak bisa lepas dari kewajiban mengikuti perkembangan teknologi komputer. Memasuki kurun 90-an tidak sedikit desainer yang "angkat tangan" dan beralih ke profesi lain karena terkena serangan compuphobia, satu penyakit "takut" pada teknologi komputer. Benar-benar tidak berani menyentuh komputer karena dianggap barang super canggih yang sangat rumit dan sulit dipelajari. Ketika komputer masih menjadi momok menakutkan, beberapa tahun kemudian muncul teknologi baru yang terkait dengan pekerjaan desainer grafis, yaitu kamera digital. Beberapa desainer yang semula masih punya senjata andalan memotret dengan kamera analog, harus menyesuaikan dengan alat baru bernama kamera digital jenis Single Lens Reflex (SLR) yang pengoprasiannya serba digital dan lebih rumit (bagi pemula). Semua peralatan canggih ini tentu dimaksudkan untuk mempermudah dan mempercepat proses kerja desainer, dengan hasil yang lebih akurat dan presisi. Sekedar contoh, betapa repotnya membuat garis ukuran 0.1 mm atau lingkaran berdiameter 10 mm menggunakan rapido dan jangka. Ini baru membuat ukuran garis dan bidang. Lebih repot lagi membuat gradasi warna menggunakan alat air brush dan kompresor. Semua pekerjaan manual yang ribet dan memakan waktu ini dapat dilakukan dengan komputer hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Munculnya kamera digital juga sangat mempercepat proses kerja desainer. Hasil pemotretan menggunakan kamera digital dapat langsung dimasukkan ke komputer, tanpa melalui proses developing film negatif, cetak positif, dan kemudian scan gambar untuk bisa diproses di komputer. Hasil pemotretan yang kurang sempurna dapat diedit dan dimanipulasi dengan komputer. Penggunaan filter-filter kreatif pada kamera konvensional untuk menciptakan efek tertentu, kini tidak diperlukan lagi karena dapat dicapai dengan Photo Shop di komputer. Bidang percetakan juga terus mengalami perkembangan seiring dengan teknologi komputer dan digital. Banyak hal telah berubah pada teknologi grafika, mulai dari proses sparasi warna sampai ke finishing. Ditunjang lagi oleh berbagai jenis kertas yang dapat mendukung citra desain. Singkatnya, tanpa mengikuti perkembangan teknologi, desainer dapat dipastikan tersingkir. Ide dan kreativitas memang diutamakan, namun tanpa didukung peralatan canggih, ide-ide besar tidak dapat dieksekusi secara sempurna.
Singkatnya, desainer grafis harus selalu tanggap dan mengikuti perkembangan teknologi jika hendak terus bertahan.
Kamis, 08 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar